Menguak fakta sejarah : Ratu Samban berhak menjadi Pahlawan Nasional

Rabu, 20 Agustus 2008


Sudah saatnya pemerintah, untuk segera mengusulkan Mardjati alias Ratu Samban sebagai Pahlawan Nasional dari Provinsi Bengkulu. Setidaknya ada pengakuan rakyat Bengkulu, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda). Karena dia adalah pahlawan reformasi di masa penjajah, yang berjasa besar kepada rakyat kecil di Bengkulu Utara, dan gugur sebagai kusuma bangsa
Penobatan Gelar

Ratu Samban adalah gelar/adok yang diberikan kepada seorang Pesirah (sekarang sama dengan kepala desa) oleh tua-tua masyarakat di desa (Marga) Bintunan Kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 1874, seusai musim panen. Tanda penghargaan dan penghormatan itu diberikan kepada Mardjati yang dinilai telah berhasil membela kepentingan rakyat, dan sekaligus telah berhasil membunuh dua orang penguasa kolonial Belanda yaitu Asisten Residen H.Van Amstel dan Kontroleur E.E.W Castens pada 2 September 1873, saat hendak menyeberang Sungai Bintunan.

Dalam tragedi penyeberangan dengan menggunakan rakit (bambu yang diikat), dua pejabat kolonial H.Van Amstel dan E.E.W Castens didamping emapat (4) orang depati negeri Sembilan (sebutan untuk negeri Bintunan) dan salah seorangnya yang turut menyeberangkannya adalah depati Mardjati. Sedangkan tiga orang lainnya tidak disebutkan namanya, namun dapat diduga bahwa mereka adalah depati yang ditangkap Belanda pada tahun 1878.

Perihal senjata yang digunakan oleh Mardjati alias Ratu Samban, pada peristiwa pembantaian itu adalah parang tajam (bukan keris), dan saat korbannya luka (pejabat Belanda) maka langsung dibuang/ditenggelamkan ke sungai Bintunan. Peristiwa itu terjadi saat cuaca dalam keadaan usai hujan, sedangkan sungai dalam keadaan banjir (Arus air sungai deras). Sedangkan kedua petinggi Belanda itu mengharapkan sampai keseberang, dan akan bermalam di Bintunan (darat diseberang sungai), karena hari menjelang petang.

Berdasarkan berbagai literatur dan catatan sejarah pada tahun 1901 hingga 1913, serta berbagai catatan kolonial Belanda di Batavia (Arsip Nasional), hingga saat tulisan ini diturunkan penulis belum menemukan satupun berita yang menyebutkan bahwa ‘Belanda pernah mengirim pasukan sebanyak 1000 orang serdadu ke Bengkulu’. Karena tidak pernah ada pertempuran terbuka, baik yang langsung dipimpin oleh Ratu Samban ataupun yang lainnya.

Ratu Samban bukanlah seorang panglima perang (Memiliki pasukan khusus tempur), tetapi sewaktu dia menyerang dua petinggi kolonial Belanda itu, dia disaksikan oleh ratusan warga yang menyambut kunjungan Asisten Residen H.Van Amstel dan Kontroleur Castens, yang sengaja dikerahkannya (Mardjati) untuk menyaksikan peristiwa pembantaian tersebut oleh depati Mardjati (sebelum menjabat Pasirah).

Mardjati seorang depati yang selanjutnya menjadi Pasirah karena dinilai telah berjasa melindungi masyarakat dari beban pajak (Raaden = Pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah Kolonial Belanda) sebesar 30.000 Golden. Hal itu berdasarkan ketentuan pemerintah kolonial Belanda di Batavia tahun 1872, serta hasil pertemuan pemuka masyarakat dengan kontroleur Castens dan Asisten Residen H.Van Amstel.

Beban pajak ini pulalah yang dirasakan amat berat oleh rakyat, khususnya yang berada Resort Bintunan. Pada tanggal 2 September 1873, dua pejabat penting ini mengadakan inspeksi kewilayah perkebunan rakyat, yang terkenal banyak menghasilkan kopi, lada, kopra, emas dan batu mulya diwilayah pesisir barat pulau Sumatera, yaitu Lais, Bintunan, Ketahun (Provinsi Bengkulu).

Sumber-sumber sejarah Inggris maupun Belanda banyak menyebutkan tentang komoditi yang berasal dari tiga wilayah ini, daerah yang menghasilkan kopi dan lada terbesar, disamping kopra, emas dan batu mulya.

Belanda Balik Menyerang

Sejak peristiwa gugurnya dua pejabat kolonial Belanda pada tahun 1873, pemerintah kolonial Belanda tidak henti-hentinya mengejar dan mencari terus Mardjati alias Ratu Samban yang disebut-sebut sebagai pahlawan oleh anak negeri.

Laki-laki berperawakan besar dan tinggi dengan rambut pancang terurai ini tidak mudah diperdayakan Belanda. Setiap rakyat yang ditemui dan dimintakan keterangan tentang keberadaan Ratu Samban selalu saja bungkam (tutup mulut), bahkan mereka seolah-olah tidak mengetahui adanya peristiwa pembantaian yang terjadi.

Akibat gerakan perlawanan masyarakat ‘tutup mulut’ Belanda mendapat kesulitan untuk membedakan pemimpin yang dicari-cari itu dengan rakyat biasa, karena Ratu Samban memang pemimpin yang merakyat, dan apa yang diperjuangkannya memang untuk rakyat. Pernah suatu ketika (1887) Ratu Samban tertangkap oleh kolonial Belanda di daerah Napal Putih (Ketaun = Cat twon), dan dia dibawa ke Fort Marlborough (Benteng) , namun beberapa saat kemudian serdadu Belanda lainnya juga melaporkan (Pasukan lainnya) telah menangkap Ratu Samban beserta pengawalnya, maka terpaksa Mardjati yang asli itu dilepaskan.

Pada tahun 4 Desember 1888, kolonial Belanda mendapat berita bahwa Mardjati alias Ratu Samban berada di Bintunan setelah bersembunyi dan berpindah-pindah dari Ketahuan dan Lais. Maka pada tahun 1889 Belanda mengumumkan (Mengeluarkan maklumat) keseluruh negeri berisikan “Akan memberikan hadiah yang besar kepada siapa saja yang dapat menangkap Mardjati alias Ratu Samban”.

Tanggal 24 Maret 1889 (Pada tengah malam) penjahat nomor wahid yang dicari-cari kolonial Belanda ini ditangkap, dan di eksekusi diatas rakit, sebagaimana dua pejabat Belanda di eksekusi oleh Ratu Samban. Tokoh ini wafat menjalani hukum pancung dengan tangan terikat, dan dia dimakamkan oleh masyarakat di Desa Bintunan Kecamatan Batik Nau (sekarang).www.metrobengkulu.com

0 komentar: